Rabu, 17 November 2010

Jupiter akan Mengenakan Sabuk Lagi

Jupiter memiliki dua sabuk besar. Masing-masing melintang di belahan utara dan selatan planet raksasa tersebut. Pada Mei 2010 lalu, SEB (southern equatorial belt), sabuk raksasa berwarna kecoklatan yang melintang di belahan selatan, menghilang dari pengamatan. Namun, jika foto-foto yang diambil beberapa astronom amatir mengarah ke titik yang tepat, SEB mungkin akan terlihat lagi.

Kini beberapa astronom amatir mengamati bintik putih di atas tempat SEB dulu pernah terlihat. Bintik tersebut diduga menjadi tanda bahwa SEB akan terlihat lagi. Spaceweather menduga, SEB akan kembali dapat dilihat setelah munculnya gangguan pada atmosfer bagian atas Jupiter. Gangguan tersebut mendorong terjadinya penyebaran bintik dan pusaran angin ke seluruh planet. Proses inilah yang menyebabkan munculnya kedua buah sabuk Jupiter.
Belum dapat dipastikan apakah sabuk selatan itu akan muncul secara utuh lagi. Namun hilangnya sabuk selatan itu menimbulkan dugaan bahwa Jupiter sedang mengalami perubahan iklim yang berkelanjutan. HST dan Keck Observatory mengirimkan foto-foto yang mendukung dugaan tersebut.

Gambar di samping ini dibuat oleh astronom amatir Björn Jónsson dengan menumpuk foto-foto yang diambil oleh Voyager, wahana antariksa tak berawak milik NASA, pada 4 Maret 1979 dari jarak sekitar 1,85 juta km. Resolusinya 18km/pixels. Detail bintik merah Jupiter yang terkenal itu dapat terlihat cukup jelas.

Citra thermal baru (bawah kiri) yang diambil oleh beberapa teleskop yang berbasis di Bumi memperlihatkan adanya pusaran udara yang lebih hangat dan kawasan-kawasan yang lebih dingin yang sebelum tidak terlihat dalam gambar buatan Björn Jónsson. Pusaran udara dan kawasan dingin tersebut telah bertahan di sana selama 200 hingga 350 tahun.

Pengematan thermal menunjukkan, warna paling merah dalam Bintik Merah Raksasa berhubungan dengan arus bawah yang lebih hangat pada sistem badai Jupiter. Citra thermal juga memperlihatkan adanya jalur-jalur berwarna hitam pada pinggiran badai di mana gas-gas meluncur turun ke kawasan yang lebih rendah.

Data tersebut dirinci sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal Icarus. Data semacam ini membantu ilmuwan menentukan pola sirkulasi sistem badai paling terkenal di Tata Surya. Glenn Orton, salah satu pengarang makalah tersebut, menyatakan, "Ini merupakan pengamatan terperinci pertama terhadap badai terbesar di Tata surya. Kita dulu mengira Bintik Merah Raksasa haya sebuah bentuk oval belaka tanpa struktur, namun citra thermal baru ini memperlihatkan bahwa bintik itu sangat rumit."

Astronom telah mengamati Bintik Merah Raksasa, dalam berbagai bentuknya yang sering berubah, selama bertahun-tahun. Bentuk bintik tersebut seperti yang dapat terlihat hingga kini telah ada sejak abad ke-19. Bintik yang merupakan sebuah kawasan sedingin 110 kelvin (-260 derajat Fahrenheit) itu membentang demikian luas hingga mampu memuat tiga buah planet Bumi secara bersamaan.

Atmosfer Jupiter diketahui memiliki pola-pola zigzag yang terdiri dari 12 arus semburan. Pola-pola inilah yang menimbulkan warna-warna pastel yang menjadi ciri Jupiter. Sebagai perbandingan, Bumi hanya memiliki dua arus semburan. Bintik Merah Raksasa terjepit di antara dua dari ke-12 arus semburan tersebut. Pengamatan pesawat antariksa menunjukkan, pusat bintik itu jauh lebih tenang daripada atmosfer Jupiter yang lain. Angin di pusat bintik hanya bertiup 9 hingga 10 mil/jam, sementara di sekitarnya angin mengamuk lebih dari 200 mil/jam.

Wide Field and Planetary Camera di Hubble yang memotret Bintik Merah Raksasa dengan cahaya kasat-mata pada 9 dan 10 Mei 2010 memperlihatkan adanya tiga bintik merah yang lebih kecil. Salah satu dari ketiga bintik tersebut adalah bintik yang baru saja terbentuk (dalam citra thermal diberi kotak). Bintik oval yang gradasi warnanya dari putih menjadi merah ini menunjukkan bahwa awan badainya sedang naik ke ketinggian yang sama dengan awan yang terdapat pada Bintik Merah Raksasa.

Astronom menduga, badai yang berwarna merah di Jupiter bertiup begitu kuat sehingga menghisap material yang terdapat di bawah awan-awan planet tersebut dan membumbungkannya ke ketinggian di mana radiasi ultraviolet – dengan reaksi kimia yang belum diketahui – menghasilkan warna yang mirip batubata. Karena ketiga badai berbentuk oval tersebut terlihat terang dalam cahaya inframerah, ketiganya tentu berada lebih tinggi daripada lapisan methana yang menyerap cahaya inframerah Matahari.***


Sumber: science.nasa.gov/dailygalaxy.com/Spaceweather.com
Sumber foto: science.nasa.gov/dailygalaxy.com

1 komentar: