Minggu, 19 Desember 2010

Dari Mana Datangnya Emas?

Dari mana datangnya emas? Dari langit turun ke Bumi, kata peneliti.

Para ilmuwan telah lama mengetahui adanya logam siderophile (“iron-loving” – suka besi) dalam jumlah yang misterius pada mantel Bumi. Logam-logam semacam ini, termasuk emas, dalam bentuk cair cenderung bersenyawa dengan besi.


Penjelasan yang diajukan selama ini tentang siderophile tersebut adalah bahwa suatu benda langit telah membawa elemen-elemen penyuka besi tersebut ke Bumi tak lama setelah Bumi membentuk inti Bumi. Namun, wujud benda langit itu masih diperdebatkan.

Baru-baru ini, sebuah penelitian yang menggunakan simulasi komputer menunjukkan kemungkinan bahwa logam-logam penyuka besi tersebut tiba di Bumi setelah terjadi tumbukan-tumbukan benda antariksa secara acak sekitar 4,5 milyar tahun lampau.

Benda-benda langit yang menumbuk Bumi tersebut adalah bebatuan yang merupakan sisa-sisa dari fase pembentukan planet-planet di Tata Surya. Benda terbesar yang menumbuk Bumi diperkirakan berukuran sebesar Pluto – lebarnya sekitar 2.000 mil atau 3.220 km.

Namun, bayi Bumi saat itu bukan satu-satunya sasaran tumbukan. Kira-kira pada saat yang sama, benturan-benturan oleh benda-benda angkasa juga menyebabkan keberadaan logam-logam penyuka besi di Bulan dan Mars. Yang lebih fantastis, tumbukan semacam ini juga membawa air ke Bulan.

William Bottke, pemimpin penelitian, dari Southwest Research Institute, Boulder, California, menyatakan, “Elemen-elemen ini mengungkapkan tentang apa saja yang menumbuk benda-benda angkasa yang baru terbentuk di Tata Surya.”

Tumbukan Seperti Bermain Dadu

Bebatuan Bulan yang dibawa pulang oleh misi Apollo menimbulkan teori yang kini telah banyak diyakini, yaitu bahwa Bulan terbentuk ketika sebuah benda langit sebesar Mars menumbuk Bumi yang masih muda.

Energi dari tumbukan tersebut akan mendorong Bumi, yang masih dalam proses pembentukan, untuk membentuk inti Bumi yang sebagian besar merupakan besi. Ketika proses ini berlangsung, logam-logam penyuka besi tentu turut meleleh dari mantel Bumi dan masuk ke inti Bumi.

Namun, selama ini juga diketahui dengan jelas bahwa emas dan logam-logam lain penyuka besi ditemukan dalam jumlah melimpah di mantel Bumi.

Menggunakan pendekatan matematis yang disebut analisis Monte Carlo, tim pimpinan Bottke memperkirakan bahwa logam-logam penyuka besi dibawa ke Bumi oleh beberapa proses tumbukan besar yang kebetulan tidak menumbuk Bulan.

Ukuran Bulan adalah seperduapuluh (1/20) ukuran Bumi. Jadi, Bulan diperkirakan memiliki 1/20 jumlah logam mulia pada mantelnya, jika elemen-elemen tersebut memang disebabkan oleh tumbukan. Jika ada jutaan tumbukan yang terjadi, rasio kemungkinan terjadinya tumbukan di Bumi dan Bulan adalah 1/20 juga.

Namun, ternyata Bulan hanya memiliki 1/1000 logam penyuka besi jika dibandingkan dengan Bumi. Menurut hasil penelitian Bottke dan kawan-kawan, yang dipublikasikan dalam jurnal Science edisi 9 Desember 2010, kemungkinan ini dapat dijelaskan jika tumbukan besar tidak terlalu sering terjadi.

Jadi, kesenjangan jumlah logam antara Bumi dan Bulan disebabkan sebuah benda angkasa raksasa “melewatkan” Bulan dan “memilih” menumbuk Bumi.

Bukti dari Sabuk Asteroid
Untuk membuktikan temuannya, Bottke merujuk pada sisa-sisa pembentukan planet dalam Tata Surya, yaitu asteroid.

Pada lingkaran dalam sabuk asteroid, terdapat tiga batu langit besar, yaitu Ceres, Pallas, dan Vesta, yang ukurannya mulai dari 300 hingga 600 mil atau 483 hingga 966 km. Benda-benda tersebut jauh lebih besar daripada asteroid-asteroid lain, yang hanya berukuran 150 mil atau 241 km.

Jadi, massa terbesar dimiliki oleh ketiga asteroid tersebut. Distribusi massa ini konsisten dengan jumlah benda angkasa yang dibutuhkan untuk menumbuk Bumi dan Bulan dan menyebabkan adanya logam-logam penyuka besi.

Bukti lain diperoleh dari kawah-kawah di Mars. Ukuran kawah-kawah terbesar hasil tumbukan di planet merah cenderung konsisten dengan teori bahwa Mars ditabrak oleh sebuah populasi benda-benda angkasa yang berisikan beberapa asteroid berukuran besar.

Beberapa Kritik
Walaupun teori di atas sangat menarik, ilmuwan keplanetan Jay Melosh dari Purdue University ragu dengan teori tersebut. Ia menyatakan, ada beberapa mata rantai yang lemah dalam rantai spekulasi tersebut.

Misalnya, Melosh menekankan – yang juga disepakati oleh Bottke dan kawan-kawan – bebatuan luar angkasa raksasa itu sendiri telah membentuk inti masing-masing. Artinya, benda semacam itu tentu telah memerangkap emas dan logam-logam penyuka besi yang lain pada intinya.

Masalahnya, bagaimana inti benda penumbuk tersebut melepaskan kandungan emasnya dan menanamkannya pada mantel Bumi dan Mars. Satu-satunya sebab mengapa mekanisme ini bisa terjadi adalah jika logam-logam besi benda penumpuk mengalami oksidasi.

Proses oksidasi itu tentu membutuhkan sumber oksigen yang melimpah. Padahal, pelbagai model Bumi pada masa awal tidak mencakup sumber oksigen sebanyak itu.

Bottke dan kawan-kawan mencoba memecahkan masalah tersebut dengan simulasi yang menunjukkan bahwa benda penabrak itu telah masuk begitu jauh ke dalam bayi Bumi yang masih meleleh, lalu keluar lagi dari sisi yang lain dalam keadaan masih terfragmentasi, yang menghujankan kepingan-kepingan ke arah permukaan Bumi selama waktu yang panjang.

Namun, Melosh justru mengajukan dugaan, emas muncul di mantel Bumi karena adanya pelbagai proses kimiawi yang teratur namun masih belum diketahui, bukan disebabkan oleh tumbukan benda angkasa yang acak. Pelbagai observasi menunjukkan, konsentrasi elemen-elemen penyuka besi di Bumi dan Mars hampir sama, namun jauh lebih rendah di Bulan.

Menurut Molesh, model buatan Bottke dan kawan-kawan menunjukkan bahwa keberadaan emas di Bumi adalah akibat dari kecelakaan: siapa yang tertabrak oleh apa dan kapan. Mungkin memang demikian, namun tidak bisa diabaikan juga fakta konsentrasi elemen penyuka besi yang hampir sama di Mars dan Bumi – boleh jadi proses itu bukan merupakan kecelakaan.***


Sumber: National Geographic, 9 Desember 2010
Sumber ilustrasi: NASA/JPL-Caltech via National Geographic