Senin, 11 Oktober 2010

Sejarah Singkat "Penemuan" Luar Angkasa

Aristoteles, filsuf Yunani yang dihormati, mengajukan sebuah prinsip pada 350 SM, bunyinya: nature abhors a vacuum. Prinsip yang kemudian lebih banyak dikenal sebagai horror vacui ini selanjutnya menimbulkan pemikiran bahwa sebuah ruang hampa (vacuum) tidak mungkin ada. Berdasarkan pemikiran itu, selama berabad-abad orang meyakini bahwa ruang – termasuk langit – tidak mungkin hampa. Hingga abad ke-17 M, filsuf Rene Descartes masih berpendapat bahwa seluruh ruang pastilah terisi (oleh sesuatu).

Galileo Galilei mengerti bahwa udara memiliki berat dan dengan demikian tunduk kepada hukum gravitasi. Ia juga menuunjukkan, ada sebuah kekuatan tetap yang mencegah terbentuknya sebuah ruang hampa udara. Namun, Evangelista Torricelli, muridnya, dapat menciptakan sebuah alat yang dapat menghasilkan ruang hampa udara. Pada masanya, eksperimen Torricelli tersebut menjadi sebuah sensasi ilmiah di Eropa.


Blaise Pascal, matematikawan tenar dari Perancis, berpendapat bahwa jika wadah yang mengandung gumpalan merkuri (air raksa) diangkat lebih tinggi, maka lajur yang terbentuk oleh merkuri tersebut seharusnya menjadi semakin pendek. Saudara iparnya, Florin Perier, menguatkan pendapat tersebut dengan mengadakan eksperimen di pegunungan Puy-de-Dome di Perancis tengah dan menemukan bahwa lajur merkuri tersebut memang menjadi lebih pendek 3 inchi. Penurunan tekanan ini selanjutnya ditunjukkan dengan membawa sebuah balon yang setengahnya berisi udara ke atas pegunungan. Balon itu semakin lama semakin menggembung ketika dibawa mendaki, namun semakin mengempis ketika dibawa turun. Eksperimen ini dan beberapa eksperimen lain tentu saja meruntuhkan prinsip horror vacui-nya Aristoteles.

Karya fisika yang lebih maju tentang ruang hampa udara dihasilkan oleh Otto von Guericke. Ia dengan tepat mencatat bahwa atmosfer planet Bumi mengelilingi planet ini seperti sebuah cangkang kerang, di mana kepadatannya sedikit demi sedikit semakin berkurang jika semakin tinggi. Ia menyimpulkan, pastilah ada sebuah ruang hampa udara di antara planet Bumi dengan bulan.

Spekulasi awal tentang dimensi ketakberhinggasan (infinite) luar angaksa muncul pada abad ke-16. Giordano Bruno, filsuf Italia, mengembangkan kosmologi heliosentris Kopernikan (susunan Nicolaus Copernicus) menjadi konsep tentang sebuah alam semesta tak berhingga yang terisi oleh sebuah substansi yang disebut sebagai aether. Substansi ini tidak menghambat gerakan benda-benda langit. William Gilbert, filsuf Inggris, sampai pada kesimpulan yang hampir mirip, dengan berpendapat bahwa bintang-bintang bisa terlihat oleh kita karena bintang-bintang itu dikelilingi oleh aether kehampaan (void) yang tipis. Konsep tentang aether ini berasal dari para filsuf kuno Yunani, termasuk Aristoteles, yang menganggapnya sebagai medium di mana benda-benda langit bergerak.

Konsep tentang alam semesta yang terisi oleh suatu aether yang lembut tetap diyakini para ilmuwan hingga abad ke-20. Aether ini dipandang sebagai medium di mana cahaya dapat menyebar. Pada 1887, eksperimen Michelson-Morley dilakukan sebagai upaya untuk mendeteksi pergerakan Bumi melalui medium ini dengan meneliti perubahan pada kecepatan cahaya berdasarkan arah pergerakan Bumi. Namun, angka nol yang dihasilkan dari eksperimen ini menunjukkan bahwa ada yang salah dengan konsep tersebut. Sejak itu, ide tentang aether yang lembut tidak lagi diyakini dan kemudian digantikan oleh teori Albert Einstein tentang relativitas khusus. Teori relativitas khusus menyatakan bahwa kecepatan cahaya adalah sebuah ketetapan dalam ruang hampa, tak tergantung pada gerakan maupun sudut pandang pengamat.

Astronom profesional pertama yang mendukung konsep tentang alam semesta yang berhingga adalah astronom Inggris, Thomas Digges, pada 1576. Namun, skala alam semesta yang sebenarnya tetap tidak diketahui hingga dilakukannya pengukuran jarak ke bintang terdekat pada 1838 oleh astronom Jerman Friedrich Bessel. Bassel menunjukkan bahwa bintang 61 Cygni memiliki parallaks hanya sebesar 0,31 arcsecond. Kira-kira sama dengan 10 tahun cahaya. Skala jarak ke galaksi Andromeda ditentukan pada 1923 oleh astronom Amerika, Edwin Hubble, ketika ia mengukur kecerahan variabel-variabel cepheid di dalam galaksi tersebut. Eksperimen ini memastikan bahwa galaksi Andromeda, dan dengan demikian juga semua galaksi, berada jauh di luar Jalur Susu atau Galaksi Bima Sakti.

Konsep modern tentang luar angkasa didasarkan pada kosmologi Big Bang (Ledakan Besar), yang diajukan pertama kali pada 1931 oleh fisikawan Belgia, Georges Lemaitre. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta yang dapat diamati berasal dari sebuah bentuk yang sangat padat yang terus menerus mengembang. Materi yang tersisa setelah perkembangan awal terus menerus mengalami tarikan gravitasi hingga membentuk bintang, galaksi dan benda-benda langit lain, serta ruang-ruang kosong yang kini disebut sebagai luar angkasa (outer space).

Istilah outer space dalam bahasa Inggris, yang biasa disingkat menjadi space saja (bandingkan dengan kalimat pembuka dalam film Star Trek: "Space, the final frontier"), tercatat pertama kali dalam karya perempuan penyair Inggris, Emmeline Stuart-Wortley, dalam puisi berjudul “The Maiden of Moscow” (1842). Istilah ini kemudian dipopulerkan dalam karya-karya HG Wells pada 1901. Istilah space sendiri sudah jauh lebih dulu muncul, mula-mula diartikan sebagai kawasan yang jauh melampaui langit atau angkasa Bumi dalam Paradise Lost (1667), karyatama penyair Inggris, John Milton.

Sumber ilustrasi: truereligiondebate.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar